(Bagian 3) Lampau Kini Tera Jogja #TheGatewayofJava
Mendekap Alam
Terang kembali menyilih temaram malam. Hari ketiga datang dengan suasana yang lebih menantang. Kali ini tim Earthground Discovery akan menuju Imogiri, Bantul. Merasakan pengalaman susur Kali Oya sembari mengakrabi suasana pagi masyarakat di sekitarnya. Pendar pagi masih tersaput larik-larik mega, namun kendaraan kami telah gegas melaju menaklukan jalan raya. Di dalamnya, teman-teman seperjalanan kembali menggenapi porsi tidurnya. Sementara saya membuka hari ini dengan seporsi sarapan ringan yang telah disiapkan Grand Ambarrukmo. Memberi pondasi untuk segera disilih sebagai tenaga meretas Oya.
Suasana Senin pagi kawasan Bantul, selintas terekam lewat bingkai jendela sisi kanan saya. Hingga tiba saat memasuki Desa Selopamioro, terlihat dari kejauhan antrian anak-anak di sebuah jembatan yang hendak berangkat sekolah. Ada yang berjalan kaki bersama, bersepeda, pun diantar orang tuanya. Berlatar mentari yang mulai meninggi, serta pepohonan yang membingkai suasana pagi ini. Rasanya sayang, suasana ini tak dapat terabadikan dalam rana. Namun sejatinya, kedua mata ini masih lebih dalam merekamnya dalam sebait ingatan.
Sampai di titik temu, kami disambut Fauzan dan timnya dari Karang Taruna Sedyo Bhakti Desa Sriharjo, Imogiri, Bantul yang akan menemani meretas Kali Oya. Peregangan otot dan sendi jadi anjuran Fauzan sebelum perjalanan ini dimulai. Kami pun turuti anjurannya, sembari menghirup segarnya udara pagi dalam-dalam, serta melepas saujana pada bentang Kali Oya yang begitu panjang. Mengalir lebih dari 100 km dari timur laut hingga barat daya. Berhulu di lereng barat Perbukitan Gunung Gajahmungkur di Wonogiri, Jawa Tengah dan bermuara pada Sungai Opak, di Desa Sriharjo, Imogiri, Bantul, Yogyakarta.
Perjalanan dari tepian muara pun dimulai. Menyusuri sungai gagah yang membelah bukit karst di liuk Pegunungan Sewu. Beruntung langit kian cerah, menemani langkah-langkah kecil kami meretas luasnya sepotong Jogja yang istimewa. Medan mendatar, menanjak pun turunan saling bersilih adil sepanjang perjalanan. Serta menawarkan sapa pada siapa saja yang bertemu mata seiring tepian Kali Oya. Kekhasan budaya Jawa yang bersemayam hingga kini. Saat orang tak saling kenal, bertukar sapa dengan begitu hangatnya.
Hingga kami pun berjumpa dengan Salsa, gadis kecil ceria bersama Suyanto, sang ayah. Dari kejauhan mereka meniti jalan berbatu di bibir kali dengan motor bebek. Bermuatan sekarung besar pakan ternak yang belasan kilo beratnya untuk dibawa ke seberang. Bagaimana caranya, tanya benak saya penasaran. Oleh Suyanto, karung putih besar nan berat ini ia turunkan terlebih dulu pada tanah berbatu di samping motornya. Setelah itu, ia menggendong Salsa di pundaknya. Tak berapa lama, mereka berdua meretas bentang Kali Oya. Perlahan melangkah memasuki air. Begitu mulai dalam, Salsa pun mempererat peluk melingkari kepala ayahnya. Arus kali yang saat itu tenang tandas membahasi tubuh Suyanto hingga batas ulu hatinya. Sampai di sisi seberang, Suyanto menurunkan Salsa di tempat aman. Lalu kembali menyeberang ke sisi kami untuk membawa sekarung pakan ternak di atas kepalanya. Sebuah aktivitas pagi yang beruntung bisa kami amati dan rekam bersama. Pun menjadi cermin pengingat untuk semangat dan rasa syukur yang tak terperi.
Perjalanan dilanjutkan kembali, dan kini giliran kami untuk meretas Kali Oya. Bersentuhan dengan arus airnya yang perlahan namun pasti menggoyahkan kaki kami. Dalam langkah lambat, bebatuan kali yang tak licin jadi tempat kaki tertambat. Sudah sepertiga bentang kali diretas. Tapi dari kejauhan nampak dua ibu bertopi caping bambu tengah meretas Kali Oya dari arah sebaliknya. Menggendong pakan ternak di punggungnya. Saya tercekat, dan segera berbalik haluan. Langkah berubah gegas, dengan kejelian tingkat tinggi. Memastikan tambatan batu tak menipu, agar kamera yang melintangi badan tak terjatuh dan lenyap dihanyut arus kali. Saya berusaha sedekat mungkin, dengan perkiraan lensa 70 mm mampu menjangkau gerak lincah mereka meretas Kali Oya. Kadang kita juga harus bijak menakar, seberapa berharganya momen yang akan diabdikan, dibandingkan keselamatan diri kita. Beruntung, momen ini sempat terabadikan dalam rana. Semua selamat dan lambaian tangan saya dibalas lambaian hangat mereka.
Langkah terus berlanjut, hingga lepas 5 km berjalan, tak terasa kami telah kembali ke titik temu semula. Rasanya setiap sengal napas seiring perjalanan ini tak jadi percuma, dengan segala pengalaman yang mengesankan benak, rasa, serta raga. Sampai di sini, Fauzan sudah siap menjamu kami dengan kelapa muda segar. Kandungan elektrolit air kelapa segera mengisi kembali tubuh ini, serta menetralkan kembali detak jantung menuju teratur. Belum selesai pada kelapa muda, tim Ambarrukmo mendatangkan Depot Mie 88, yang membuka dapur terbuka di tepian Kali Oya untuk makan siang bersama. Sajian Sichuan dan Charsiu Chicken dilengkapi Steamed Dumpling yang diguyur chili oil yang nikmat. Diatapi pangsit dan daun bawang yang tak boleh terlupa. Sajian mie ini menjadi teman yang tepat untuk kami melaras siang di tepi kali.
Menuju Pawon Thiwul
Puas mempersilahkan mie panjang umur dari Depot Mie 88 bersemayam dalam perut. Perjalanan kami masih berlanjut. Dari Imogiri menuju liuk jalan aspal Mangunan untuk berhenti di Thiwul Ayu Mbok Sum. Pastikan masih ada cukup ruang untuk menikmati makanan tradisonal khas Gunungkidul dengan cita rasa manis gurih ini.
Sesampainya di sana, saya lekas mengakrabi pawon Mbok Sum. Menjumpai Nur dan Atun, dua peracik rasa kepercayaan Mbok Sum. Mereka tengah mempersiapkan thiwul dalam pelbagai rasa terkini, seperti thiwul keju, thiwul coklat, serta thiwul nangka. Meski sejatinya, thiwul yang otentik bermula dari gaplek (singkong yang sudah dikeringkan). Diatapi taburan gula jawa dan parutan kelapa. Kini pun hadir racikan baru, thiwul oven yang lebih tahan lama ketika dibawa sebagai bingkisan dari Yogyakarta. Kesemuannya diolah di ruang rasa dengan tungku bertenaga kayu.
Puas mencicipi thiwul dan mengakrabi ruang raciknya. Rasa lelah selepas susur Kali Oya pun mulai terasa. Kami menikmati 45 menit perjalanan pulang dalam keadaan setengah sadar menuju Porta. Hotel ketiga dari Ambarrukmo yang akan jadi ruang nyaman selanjutnya untuk kami melaras diri.
Diayun Rupa Rasa Dewandaru
Pukul 6 sore, kami berdelapan berkumpul di lobi Hotel Porta. Menariknya, kami diminta untuk tampil berkain oleh tim Ambarrukmo. Memadukan atasan dan bawahan yang bersenyawa untuk menyambut makan malam yang tak terbayang. Tak dinyana, hanya saya dan Sarah Azka yang mengenakan atasan putih, sementara lainnya seperti bersepakat dalam diam untuk mengenakan kombinasi dominan hitam. Sebuah kebetulan yang jadi menarik untuk komposisi gelap terang. Dua putih dikelilingi hitam saat delapan orang berfoto bersama.
Perjalanan dengan nuansa kain ini ditujukan untuk menikmati sajian makan malam bersama di kaki Merapi. Menelusup keramaian Jalan Kaliurang hingga tiba di Desa Wukirsari, Kecamatan Cangkringan, Sleman, Yogyakarta. Berjuluk Suara Dewandaru Listening Café, tempat ini menyambut kami dengan rimbun pepohonan bambu. Nuansanya hangat dengan lampu kekuningan memendar dalam dingin malam. Sebentang meja panjang telah menunggu untuk diakrabi. Tak lama terdengar ayun birama nada bossa nova, dari piringan hitam yang diputar Lana, sang empunya Suara Dewandaru.
Senda gurau saling silih dengan suara instrumental dari piringan hitam. Sembari menanti sajian makan malam spesial yang sebentar lagi siap disajikan. Iqbal Rachmat (Ibe) dan Chef Eko dari Ambarrukmo berkolaborasi meramu sajian nikmat malam ini. Menghadirkan rekaman rasa Ibe sejak kecil yang penyajiannya divisulkan oleh Chef Eko. Memadukan menu tradisional rumahan dalam sentuhan kekinian. Dan untuk setiap minuman akan diracik Retno si mixiologist dari Kebun Kita Jogja. Saat ketiganya mengenalkan diri, kian penasaran rasanya, sajian seperti apa yang nantinya akan keluar menyapa.
Sampai akhirnya sebuah kertas kecil dibagikan kepada kami. Tertulis petunjuk yang diwedar dalam satu paragraf singkat, tentang sajian apa yang akan datang berikut ini. Akan selalu begitu, setiap kali sajian baru muncul ke meja panjang. Dimulai dari Mie Atas, mie pentil khas Bantul yang kenyal ditemani jamur dan buah pir. Dilanjutkan dengan Mie Bawah, mie pentil dengan paduan daging udang dan buah alpukat berseling daun ketumbar. Diikuti Empal Emak, empal daging sapi yang diletakkan di atas jadah ketan dan diatapi buah kedondong dan irisan lombok riwit serta daun bawang. Kemudian dihangatkan dengan semangkuk Soto Ayam Kampung dengan kuah kental yang nikmat, serta dua wonton berisi daging ayam kampung dan jamur cincang. Setelahnya hadir hidangan Nasi Gurih Kecombrang Bumbu Hainan, berisi cita rasa kecombrang dan kaldu jahe dalam beras pandan, yang mewujud nasi nan gurih. Disantap bersama ayam panggang bumbu Hainan, kulit ikan berlapis telur asin, serta kerupuk opak.
Beralih pada padu padan si mixiologist. Hadir Markidanz, lemon cui yang bersenyawa dengan olahan buah markisa. Disusul Si Hitam Manis, ketan hitam yang hadir bersama roti mari serta potongan manis sarang lebah. Diakhiri kesegaran Agar-agar Susu Leci dengan stroberi. Malam ini sungguh kaya, menambah perbedaharaan rasa, saat lidah saya mencecap pelbagai rupa masakan berbeda.
Malam kian dalam di Suara Dewandaru. Perut pun telah mencapai lingkar batas kemeja. Saatnya kembali ke Porta, menikmati hotel kekinian bagi pengelana muda. Menenggelamkan diri dalam rehat dan kecukupan rasa, setelah hari ini semua indera sungguh dimanja.
Berpisah di Simpang Seni
Mata enggan kembali memejam, buah kebiasaan bangun pagi beberapa hari kebelakang. Padahal hari ini perjalanan baru dimulai pukul 9. Gawai pintar bergetar, tanda pesan WA saya terima. Ternyata dari Putri yang mengajak sarapan pagi. Saya pun turun ke resto Hotel Porta. Niat hati kembali mengisi pondasi. Setiap meja yang menawarkan pelbagai makanan telah dihampiri. Tapi entah mengapa rasanya tak ada selera yang menggugah saya. Dua kali saya ulangi menghampiri setiap makanan yang ditawarkan. Hasilnya sama. Hanya sencangkir teh yang akhirnya saya pilih untuk menjadi sarapan pagi. Ternyata sebabnya adalah kekayaan rasa semalam yang membuat saya masih cukup kenyang hingga belum kembali berselera. Sungguh mengesankan tim Ambarrukmo mengatur semuanya.
Bertolak dari Porta, kami menuju ARTJOG 2022 di Jogja Nasional Museum (JNM) yang dulu merupakan bekas Kampus ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia). Menghadiri pameran tahunan yang jadi agenda wajib teman-teman pegiat dan pecinta seni rupa kotemporer Indonesia. Menikmati suguhan karya-karya para perupa yang ditampilkan dalam pelbagai wahana. Kali ini, ARTJOG 2022 menghadirkan tajuk Expanding Awareness. Menampilkan 61 perupa dari rentang generasi berbeda, dengan Darka Astatanu Hasmanto (6) sebagai perupa termuda, serta Dolorosa Sinaga (70) sebagai yang paling tua. Tak hanya karya-karya individu, karya kelompok pun hadir turut serta di ARTJOG 2022, seperti Jogja Disability dan Sekolah Seni Tubaba yang juga unjuk karya.
Saya melenggang menikmati setiap ruang eksplorasi para perupa dengan membaca cerita di balik karya mereka. Mencoba mencerna bagaimana bisa terpikir gagasan-gagasan yang akhirnya mewujud menjadi karya nyata.
Semakin siang, ARTJOG kian ramai pengunjung. Kami pun keluar menuju JNMBloc di sisi belakangnya, untuk menikmati suasana bawah pohon beringin yang berangin sepoi. Namu rupanya, saya baru tersadar ini kali terakhir kami akan makan bersama. Sebab setelahnya kami akan kembali pada perjalanan masing-masing.
Sepurna makan siang, kami pun melepas pejalanan empat hari bersama dalam #TheGatewayofJava dengan dekap pelukan, erat jabat tangan, dan lambaian perpisahan. Tak lupa, kenangan kami selama empat hari telah abadi dalam foto bersama di bawah pohon beringin, di satu simpang seni Yogyakarta.