Celoteh Pring Sedapur
Kain bercorak merah memadu putih, penutup Ki Bodrosari telah diudari. Seiring siang yang mulai akrab menaungi hari. Menampakkan wujud hitam gagah berukir kuning yang segera mengundang heran. Tak berapa lama, tanpa perlu dipantik tanya, sang pengudar memberi pengantar. “Ki Bodrosari itu gabungan kendang dan kentongan”, ulas Mbah Parman sambil terkekeh. Rasa heran tak kunjung pudar, malah menagih tutur lanjutan.
Menurut Mbah Parman (81) atau masyhur disapa Ki Sutiknohadi, instrumen musik temuannya yang berbahan dasar pring (bambu) ini merupakan perpaduan musik ronda thethek dan gamelan. Tetabuhan rancak bersenyawa dengan tembang Jawa dalam kendang-kentongan.
Musik ronda thethek sejatinya adalah kentongan yang digunakan masyarakat sebagai sumber bunyi dalam sistem ronda malam hari. Kala itu, medio 1970an, kentongan ini populer dikomodifikasikan sebagai alat musik. Hingga diadakan kejuaraan tingkat nasional. “Waktu itu saya jadi juara pertama di kejuaraan musik ronda thethek”, aku Mbah Parman bangga. Inspirasi kemudian mendaras dalam dirinya. Timbul keinginan untuk menjadikan musik ronda thethek dalam seperangkat alat musik yang dapat dimainkan bersama. Namun, nyawa tradisi tetap tak ditinggalkan.
Mbah Parman menuturkan, suara dari bambu yang dipukul mampu menghasilkan nada yang serupa dengan gamelan. Pemahaman tentang alat musik mewujud begitu saja dalam dirinya tanpa mampu dipahami nalar. Hal ini sejalan dengan aksinya saat menabuh kendang-kentongan. Begitu enerjik dan tak terbendung.
Lalu dibuatlah Ki Bodrosari, jelmaan kendang dan kentongan. Ki Bodrosari hanya bisa dimainkan oleh Mbah Parman seorang. “Dulu ada orang yang ingin menebus Ki Bodrosari untuk dijadikan pusaka. Tapi saya tidak mau”, tukas Mbah Parman.
Dalam setiap pentasnya, Ki Bodrosari didampingi, Ki Jalak Ngoceh (bonang), Ki Jangkung (kentongan bas), Ki Panembung (kethok kenong), Ki Sapu Jagad (gong gedhe), dan Ki Jedor (kendang gedhe). Juga dilengkapi dengan angklung. Kesemuannya ini berbahan dasar bambu ori, jenis yang dipercaya Mbah Parman paling cocok digunakan untuk membuat gamelan bambu. Alat-alat musik ciptaan Mbah Parman digunakan dalam Paguyuban Kesenian Tradisional ‘Ning Ratri Pring Sedapur’.
Nama Pring Sedapur dipilih selain mewakili bahan dasarnya, bambu, juga karena memiliki filosofi tersendiri. “Bambu itu tumbuh membentuk formasi melingkar. Di luarnya akan ditumbuhi duri, lalu di lapisan lebih dalam tumbuh bambu muda. Di tengahnya berdiam bambu tertua”, ungkap Mbah Parman. Selain itu, ia menambahkan, bambu bertumbuh saling melindungi dan bersama, layaknya kelompok dan keluarga. Hal ini yang diharapkan Mbah Parman lewat paguyuban yang didirikannya.
Sebab pemainnya yang relatif senja, Paguyuban Pring Sedapur hanya berlatih jelang pentas. Seperti saat mempersiapkan pentas untuk Festival Candi Kembar yang digelar di sisi timur kompleks Candi Plaosan awal September lalu. Hanya butuh waktu sesaat untuk kembali memadukan harmonisasi permainan. Tepat malam sebelum keesokan harinya tampil. Bukan karena kurang persiapan, namun cita rasa pemainnya yang telah bersenyawa dengan instrumen Pring Sedapur.