Dedah Rasa Macapat

anggertimur
3 min readAug 27, 2017

--

FOTO & CERITA: © ANGGERTIMUR LANANG TINARBUKO

Semburat mentari pukul tiga nampak begitu perkasa, meski langit kemarau siap meredamnya dalam senja. Ini adalah pertanda bagi sebuah ruang kelas di sudut Jalan Rotowijayan, Yogyakarta untuk buka. Tempat yang kerap diabai mata saat semua orang hendak berkunjung ke Karaton Yogyakarta.

Di dalamnya telah menunggu seorang senja yang tengah tenggelam dalam lembar-lembar buku beraksara Jawa. Ini adalah kebiasaan Rama Dwijo Ciptowandowo (83) sembari menunggu para muridnya datang. Tutur bahasanya halus, mewujud dalam diksi krama inggil yang selalu lekat dalam ucapnya. “Orang zaman sekarang memang banyak yang sudah tidak bisa bahasa Jawa. Tapi kalau masih ada yang mau menggunakan, lebih-lebih mau belajar, saya senang sekali”, ujarnya halus.

Ia adalah guru para perindu sekar Jawa, Macapat sedari 1994 silam. Mulanya ia juga adalah seorang perindu Sekar Macapat yang belajar di KHP Kridha Mardawa ini. Kini, Ia bersama KMT Projosuwasono bahu membahu mengajarkan Sekar Alit, Sekar Tengahan, dan Sekar Ageng pada siapa saja yang memiliki kerinduan pada warisan leluhur ini.

Para perindu sekar Jawa arahan Rama Dwijo ini diajarkan menyenadungkan tiap larik gatra (kalimat) penuh makna dengan rasa. Rama Dwijo menuturkan, tak perlu terburu-buru dalam melantunkan Sekar Macapat. Hayati dan resapi agar nilai-nilai kehidupan di dalamnya bersenyawa dengan diri. Tiap kali Rama Dwijo bersenandung, ruang kelas dilingkupi bahana suara bertenaga namun halus penuh penguasaan diri. “Mari bersama-sama”, ajaknya. Mentari senja yang mengintip dari pintu sisi barat, dipadu nada-nada sekar Jawa mencipta waktu yang begitu syahdu.

Sejatinya, dalam Sekar Macapat terdapat 11 sekar yang menceritakan daur hidup manusia. Nilai-nilai kehidupan dimulai dari ‘Maskumambang’, sebagai janin yang kumambang (terapung) dalam kandungan ibu. Lalu ‘Mijil’ menceritakan tentang awal kelahiran. ‘Kinanthi’ merupakan masa anak-anak saat kita dikanthi-kanthi (dibimbing) orang tua. Bertumbuh menjadi ‘Sinom’ atau enom yang berarti masa muda atau remaja. Masuk ke masa ‘Asmaradhana’ atau asmara, saat kita mulai memadu kasih dengan lawan jenis. ‘Gambuh’ menceritakan tentang saat menentukan pilihan dan menikah. ‘Dhandhangula’ adalah masa manisnya kehidupan. Kemudian ‘Durma’ yang menceritakan tentang kesulitan hidup. Beralih pada ‘Pangkur’ yang menggambarkan diri yang mulai menua dan mendekatkan diri dengan sang pencipta. Lalu ‘Megatruh’ atau pegat (memutus) ruh yang menceritakan saat-saat menanti ajal. Dan diakhiri ‘Pucung’, menceritakan tentang jasad yang telah ditinggal ruhnya. Diberi kain putih mori, dipucung.

Nilai kehidupan yang diselipkan dalam Sekar Macapat memang memerlukan pemahaman akan bahasa Jawa yang baik. Untuk memahami kesebelasnya pun butuh waktu dan kelapangan rasa. “Biasanya pada tidak betah dan mulai menghilang satu-satu. Jadi sudah tidak ada yang belajar Sekar Tengahan, dan Sekar Alit”, aku Rama Dwijo. Meskipun tak lagi dipungut biaya sejak ditetapkannya UU Keistimewaan, dan dibiayai Dana Keistimewaan, KHP Kridha Mardawa tetap sepi peminat. Baru-baru ini dibuka kelas untuk belajar dan menulis aksara Jawa, namun belum menunjukkan peningkatan yang terasa.

Meski demikian, selalu ada wajah-wajah baru yang mengisi. Terpancar semangat muda di antara para perindu yang didominasi orang-orang tua. Fina (23) seorang ibu muda menuturkan, ada kerinduan tersendiri dengan Sekar Macapat dalam dirinya. “Dulu waktu saya kecil, setiap jam 2 pagi, saya selalu terbangun karena di dekat rumah saya ada sekumpulan bapak-bapak yang nembang Macapat. Itu membekas sampai sekarang”, ungkapnya di penghujung waktu belajar Sekar Macapat.

--

--

anggertimur
anggertimur

Written by anggertimur

#PenceritaFoto | Archiving Local Culture of Indonesia https://www.instagram.com/anggertimur/

No responses yet