Gemah Ripah Garam
Dalam lelap, rupanya hujan perlahan mendekap sepertiga malam. Menjumpai tanah-tanah gersang yang merindu derai basah dibulan delapan. Tiada henti, hingga akhirnya ditanggalkan pagi. Tilas basah semalam pun masih bersemayam. Seiring perjalanan meroda, dibalut debar angin segara. Meretas mata untuk tugur, meniti batas Klungkung — Karangasem di ufuk timur.
Setibanya di sana, tepian segara menyambut dengan hamparan pasir hitam. Berlatar sayup Pulau Nusa Besar yang nampak dari kejauhan sisi selatan. Serta seorang lelaki bertopi anyam rotan yang tengah tertatih berjalan. Menatap saujana segara, dengan tangan menyilang di belakang punggungnya. Langkah ini ingin segera merapat, menuntaskan tanya sembari menukar sapa dengannya.
“Semalam hujan, pasirnya jadi masih basah. Belum bisa bikin garam.”, udar Ketut Santa, sembari mengulum tembakau di bibirnya. Rupanya, sebagai petani uyah (garam), hujan memberinya sedikit jeda. Pasir yang basah perlu terlebih dulu disirami sinar mentari yang cukup terik. Sebelum akhirnya siap menjadi lahan panen biang garam.
Percakapan terus bergulir tentang temurun cerita bertani garam. Pandemi yang menghardik napas hidupnya dan keluarga. Dua dari empat anaknya yang turut serta turun membantu. Hingga kaki kanannya yang tak sekuat mula menopang, sebab peristiwa nahas bertahun silam. Seiring bait cerita yang kian terbuka, tak terasa, mentari mulai terik meninggi, sang istri, Wayan Putri pun hadir menemani.
Sembari menanti terik mentari menyesap sela-sela basah pasir hitam tepi segara ini. Pak Tut mulai meratakan petak-petak lapang tepi segara dengan garu dari kayu. Sementara sang istri merapikan tempat mereka melaras lelah dan garam diolah, sebentuk gubuk beratap rumbia dan bertopang bambu. Bersiap, jikalau turis asing seketika datang bertandang untuk menilik proses pembuatan garam tradisional dan membawa garam sebagai buah tangan.
Setelahnya, berdua bersama timba di bahu, mereka menyongsong segara yang begitu biru. Setiba kaki mereka disambut air segara, bersama itu pula timba diturunkan agar secukupnya terisi. Dalam langkah perlahan mereka naik ke tepian, untuk kemudian mengayunkan timba. Sehingga air melompat dan bersenyawa pada permukaan petak pasir hitam yang sudah menanti untuk dibasahi. Air segara yang menempel pada pasir hitam akan nampak kontras, laksana kaca-kaca mungil yang memendar bercahaya.
Kemudian pasir yang telah kering disirami terik mentari kembali digaru, untuk kemudian dikumpulkan dalam satu bak kayu. Timbunan pasir hitam yang telah bersenyawa dengan air segara ini akan disaring untuk menghasilkan air biang garam. Nantinya air ini akan ditapung di dalam batang-batang cekung pohon kelapa dan dibiarkan hingga kering mengkristal. Gemah ripahnya bahan baku pembuatan uyah tak serta-merta niraral. Sebab kesemua proses alih rupa air segara menjadi garam begitu bergantung pada kebaikan alam.
Tiba tengah hari, Putu Juliani dan Kadek Purnama datang turut serta bahu-membahu membantu kedua orang tuanya. Putu sigap membalut dirinya dengan kamen untuk menyiapkan upakara mebanten. Meletakkan canang sari di pelbagai penjuru arah dekat gubuk pengolahan garam sembari merapal mantra puja tri sandya. Sementara Kadek menanggalkan pakaiannya untuk naik ke bak kayu, menukar pasir yang disaring beberapa hari sebelumnya.
Aktivitas ini diselingi kedatangan turis asing yang merapat ingin mengintip proses pembuatan garam tradisional. Kedatangan mereka menjadi penanda bagi Pak Tut untuk segera mengangkat timba. Kembali menyongsong segara, dan memperagakan bagaimana cara mengambil air dengan timba, serta menyiramkan air segara ke petak-petak pasir hitam. Atraksi ini selalu jadi daya tarik turis untuk direkam dengan kamera atau gawai pintar mereka. Garam-garam yang sudah terbungkus rapi pun laris mereka beli. Buah tangan tradisional, asli dari segara timur Bali.
Meski demikian, kebutuhan hidup keluarga terus menagih untuk dicukupi. Pandemi yang menjerat napas dua warsa kehidupan keluarga masih membekas. Tapi Pak Tut dan Ibu Wayan percaya akan satu hal untuk meretasnya. Mereka percaya, alam serupa keluarga yang harus saling jaga. Sebab harmoni adalah kuncinya. “Kalau kita menjaga alam, alam akan menjaga kita”, bisik Pak Tut sembari menarik topi anyam rotannya menutupi mata. Mengantarnya melaras diri di tepian teduh segara.