Geplak Peyek Mbok Tumpuk
Percakapan pagi diimbuhi sulang teh nasgithel hangatkan mendung awal hari yang lamat-lamat sembunyikan mentari. Sebuah ritual pagi yang tak pernah lupa dijelang, sebelum citarasa makanan tradisional diracik dari sebuah dapur di sudut Bantul.
Ritual ini hadir kembali, setelah dua hari dapur ini tak diakrabi, sebab penyesuaian terhadap pandemi. Nur (44) kembali bercengkrama dengan 6 karibnya. Para kausa citarasa Geplak dan Peyek Mbok Tumpuk mampu melenggang masa.
Mereka meracik geplak, makanan tradisional berbahan dasar gula pasir atau gula jawa, bercampur parutan kelapa yang dibentuk membulat tak sempurna setelah dilumat dalam genggam. Citarasanya cenderung manis berselang gurih dari kelapa dalam balutan pelbagai warna. Cerminan rasa frambozen (merah muda), jeruk (hijau), durian (putih), dan gula jawa (coklat).
Pun peyek tumpuk, yang bentuknya tak lazim namun menggoda saliva. Kacang tanah yang saling bertumpuk serta diikat rekat tepung beras berbumbu santan, kemiri, ketumbar, kencur, dan telur. Kesemuanya mewujud dalam sebongkah peyek tumpuk nan gurih yang sedari tahun 1970 citarasanya selalu dirindukan.