Lakon Suro Dalang Anom
Gulita kian dalam mendekap malam, menandai hari yang telah berganti tepat saat mentari purna pukul enam. Mengantarkan bulan Suro yang mengganti bulan Besar dalam penanggalan Jawa.
Menyambut datanganya Suro, masyarakat di sudut desa Bugisan, Prambanan, Klaten, Jawa Tengah menggelar pertunjukan wayang setengah malam. Pagelaran yang menghadirkan dalang tak biasa. Seorang gadis belia, yang baru keempat kalinya naik pentas sebagai dalang.
Arifah Azizah Auliana, adalah gadis belia yang jelang malam akan menjelma jadi pusat perhatian masyarakat Bugisan. Ifa (9), panggilan akrabnya, akan membawakan lakon Dursasana Gugur. Salah satu lakon andalannya, yang telah dibawakan sejak pertama kali mulai mendalang, setahun silam. Sebagai seorang dalang anom (muda), Ifa belum tampil dengan durasi penuh, layaknya dalang dewasa. “Biasanya dari jam 8 sampai jam 11 malam saja”, pungkas Suradi, sang ayah.
Di belakang pentas, Ifa mempersiapkan diri dengan membaca kembali kertas berisi pitutur Jawa. Sebagai penuntun alur cerita sekaligus media pembelajaran seorang dalang anom. Di ruang belakang pentas yang sejatinya adalah rumah salah satu warga Bugisan, nampak isyarat resah dari Ifa menunggu waktu naik pentas. Untuk memupus rasa resahnya, Ifa berkeliling ruang belakang pentas. Sesekali merapat pada sang Ibu. Tak berapa lama beralih ke sang ayah. Kemudian mencandai sang paman yang tengah bersolek.
Menurut sang ayah, Ifa memang tertarik dengan dunia wayang dan dalang sejak kecil. “Saya kebetulan juga dalang. Si Ifa kok ternyata juga tertarik. Jadi sekalian saya arahkan dan didik saja”, aku Suradi. Hingga kali keempat Ifa naik pentas, sang ayah selalu setia memandu tepat dari sisi belakangnya sebagai penyimping. Menghadirkan rasa aman dan pendar rasa percaya diri.
Tak terasa himpunan detik mengantarkan waktu mengakrabi pukul 8 malam. Sang ayah kemudian mengajak Ifa keluar dari ruang belakang pentas. Sampai di depan pentas, sang ayah memandu Ifa bersalaman dengan para sinden dan pemain gamelan. Wujud hormat dan perkenalan sebagai seorang dalang anom. Naik ke pentas, kemudian duduk bersila. Tak lama, Ifa dan sang ayah meneguk segelas kopi bergantian. Sebuah ritual, upaya menepis gelantung kantuk.
Pentas wayangan dibuka sambutan para tetua desa. Dilanjutkan dengan penyerahan wayang, tanda pentas wayang setengah malam dimulai kepada Ifa, sang dalang anom.
Irama gending jawa mulai semerbak menelusup malam. Tangan Ifa pun mulai mengangkat gunungan yang tertancap di gedebog pisang. Memainkannya dengan percaya diri, mengawali lakon yang akan dipentaskan. Suara belianya kemudian menghenyak, seiring gending jawa yang mulai lingsir. Ketukan cempala, alat yang dipukulkan pada kotak wayang, guna membangun suasana lakon yang dimainkan, mulai bertalu.
Dipandu cahaya blencong (lampu minyak), wayang kulit meliuk indah di tangan sang dalang anom. Pendar cahayanya menghadirkan bayangan di permukaan kelir (layar lebar) yang menarik untuk ditangkap dari sisi balik pentas.
Pentas wayang setengah malam ini disaksikan penonton lintas usia. Tua — muda hadir tak mau ketinggalan meliat aksi sang dalang anom. Salah satunya bocah perempuan usia 4 tahun bernama Husna. Bersama sang ayah, Husna menonton aksi Ifa dari dekat. Pentas yang menghadap timur memungkinkan ruang sisi selatan diakrabi Husna untuk mengamati dari dekat. Laku polosnya menjadi pemandangan berbeda di tengah penonton yang mayoritas menikmati wayangan dari kejauhan. Husna terpikat aksi sang dalang anom, hingga tak sadar menonton sambil bertolak pinggang, bak model tengah berpose.
Sebuah dampak nyata, pikat budaya merasuk ke dalam generasi alfa lewat kepiawai gadis belia, sang dalang anom. Hal ini senada dengan wejangan yang diungkapkan wali kelas Ifa, Tri Sumanto. “Ifa menjadi contoh untuk anak-anak muda Indonesia agar terus berkarya dengan mencintai budayanya” ungkap Tri bangga.