Laku Cipta Gamelan Jawa
Bahana palu bertalu jadi salam hangat penyambut diri saat merapatkan langkah menuju sebuah ruang yang dari kejauhan nampak temaram. Talu palu sesekali berkejaran tempo, sesaat kemudian memadu nada. Masuk ke dalamnya, ruang beralas tanah ini ternyata diisi para pria perkasa yang tengah memotong dan menempa bilah-bilah logam.
Diimbuhi perapen di sudut ruangan, tempat membakar logam, ruang ini memaksa peluh berdesakan keluar pori. Terlebih diatapi seng yang tak begitu tinggi.
Tak berapa lama, dari sisi lain ruangan hadir pria membawa semangkuk penuh bunga. Semakin dekat, ternyata seperangkat bunga mawar merah, putih, lengkap dengan kuncup kantil atau bunga cempaka putih. Lalu ia taburkan di sekitar ruangan, tempat para pria perkasa berkarya mencipta gamelan.
Ritual sederhana ini mewujud saban Selasa Kliwon sebagai rupa syukur dan penghormatan pada mendiang Hadi Prayitno, atau lebih dikenal sebagai Daliyo. Hari Selasa Kliwon adalah waktu berpulangnya sang maestro gamelan yang telah berkarya sejak 1957 di kawasan Baturetno, Banguntapan, Bantul, Yogyakarta. Kini, sang putra, Legiyono meneruskan usahanya dengan nama Gamelan Daliyo Legiyono.
“Pakai kapuk dulu, biar tidak sakit kupingnya”, anjur Marlun memecah sunyi percakapan seusai menaburkan bunga. Bahana palu bertalu memang memekakan telinga dan mencipta pening sesaat. Sehingga perlu direduksi dengan kapas yang disisipkan ke rongga telinga. Marlun (34) bersama keempat rekannya, Nanang (20), Wiwid (28) dan Yanto (50) adalah para perajin yang jadi nafas kerajinan galeman ini.
Mereka tengah disibukkan pesanan gamelan dari Kalimantan dan Bali. Pasar gamelan dari gamelan Daliyo memang luas. Tercatat, Malaysia, Australia, Hawai, Jepang, hingga Gereja Vatikan terpikat dan membeli set lengkap gamelan Jawa ini. Namun demikian, pasar dalam negeri pun tak lesu, biasanya di tengah hingga akhir tahun, instansi pemerintahan, korporasi, dan sekolahan mengantre memesan galeman Daliyo.
“Biasanya kalau yang pesan dari pemerintahan itu pasti diurus makelar jadi dananya mepet”, tutur Yanto, sang penata nada gamelan. Hal ini menjadi keprihatinan bersama terkait permintaan kualitas yang baik, dikerjakan secara cepat, namun harganya murah. Harga satu set gamelan berbahan besi dipatok mulai 60 juta rupiah. Sedangkan jika berbahan kuningan harganya dimulai dari kisaran 100 juta rupiah. Nominal tersebut sepintas nampak besar namun sejatinya tidak.
Bahan baku yang harganya terus naik, proses pengerjaan yang tak sebentar, serta ongkos kirim gamelan yang tinggi akhirnya memudarkan kesan nominal yang besar tadi. “Walah ini saja bekerja sampai keringetan itu untuk dapat uang 25 ribu setiap harinya”, aku Yanto sembari menepis peluh di dahinya. Nominal uang yang nampak besar tadi akhirnya menipis, setibanya di kantong para perajin.
Menjadi sebuah tantangan untuk meniti laku tradisi sekaligus menghidupi diri dimasa kini. Sebagai pengingat, penghargaan atas sebuah laku cipta acapkali tak setara proses di baliknya.