Mendaki Gunungan Berkah

anggertimur
2 min readSep 3, 2017

--

FOTO & CERITA: © ANGGERTIMUR LANANG TINARBUKO

Terik mentari kian meninggi, menandai tengah hari yang tinggal beberapa menit lagi. Masyarakat dari tiap penjuru arah tanah Ngayogyakarta Hadiningrat telah memadati jalur perjalanan Gunungan Kakung yang diarak para Abdi Dalem Karaton. Salah satu jalurnya menuju pelataran Masjid Gedhe Kauman.

Mereka telah bersiap sedari pagi untuk memeroleh berkah dari Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat. “Nanti kamu ambil yang sebelah kiri, aku tak lari ke sebelah kanan ya”, tutur salah seorang bocah dari dalam kerumunan sembari mengatur siasat bersama temannya.

Tiga puluh menit sebelum tengah hari, Gunungan Kakung mulai tampak. Gagah berdiri dilapis palawija, hasil bumi tanah Ngayogyakarta Hadiningrat. Kerumunan manusia kian rapat, bersiap menembus barisan penjagaan polisi, untuk mendaki gunungan berkah.

Suasana kian sesak, terlebih saat gunungan diletakkan dekat pintu masuk masjid, di area berpasir. Tak dinyana dan tanpa aba-aba, seorang lelaki menembus kerumunan, dan langsung mendaki gunungan. Kerumuman manusia yang tadinya masih bersabar, seperti terpantik dan ikut menghambur, beradu cepat mencari berkah.

Dominasi lelaki begitu kentara, mereka beradu kecepatan dan tenaga. Mengambil berkah di puncak gunungan, seraya membagikannya juga ke orang-orang lain yang menunggu di bawahnya. Nampak suasana suka cita melingkupi prosesi ini. Subarjo (57), salah seorang pencari berkah menuturkan, palawija dan aneka makanan dari gunungan ini dipercaya membawa berkah rejeki dan keselamatan. “Ini biasanya saya sebar ke sawah dan untuk campuran makan ternak”, imbuhnya.

Prosesi ini dikenal dengan nama Grebeg Besar, yang digelar pada 2 September 2017 lalu. Terdapat 7 gunungan yang dibagikan ke Masjid Gedhe Kauman, Pura Pakualaman, dan Kepatihan. Grebeg Besar diawali dengan prosesi Numplak Wajik yang dilaksanakan dua hari sebelumnya. Numplak Wajik adalah prosesi membuat dasaran untuk gunungan yang akan dibagikan ke masyarakat. Sekaligus pemberian konyoh sebagai penolak bala. Konyoh terbuat dari campuran bengle, dlingo, dan beras yang ditumbuk. Mewujud serupa lulur bertekstur kasar yang aromanya sedap, khas rempah Jawa.

Konyoh, kemudian dibubuhkan ke kaki GKR Mangkubumi, putri pertama Sri Sultan Hamengkubuwono X. Baru setelahnya beranting di diteruskan ke masyarakat yang telah memadati Komplek Magangan, di sisi selatan Karaton Yogyakarta. “Biasanya dibubuhkan di belakang telinga sebagai penolak bala dan penyakit”, terang Rinto Iswara, salah satu Abdi Dalem yang bertugas dalam prosisi Numplak Wajik.

Dalam kesempatan tersebut GKR Mangkubumi juga menegaskan, Numplak Wajik adalah upaya melestarikan tradisi sekaligus wujud ucap syukur kepada Allah SWT. “Ya namanya ngalap berkah dan juga sebagai upaya tolak bala”, tutup GKR Mangkubumi.

--

--

anggertimur
anggertimur

Written by anggertimur

#PenceritaFoto | Archiving Local Culture of Indonesia https://www.instagram.com/anggertimur/

No responses yet