Mengakrabi Selapan Majemuk
Puluhan kaum pria telah memadati sebuah ruang terbuka memanjang beratap seng. Ruang ini disekat dua dengan pagar bambu. Sisi sebelah barat menjadi tempat hasil panen dikumpulkan. Sisi timur digunakan untuk duduk melingkar bersama. Di sisi selatannya, berpusat sebuah sendang mungil yang dilingkari pepohonan rindang.
Lepas tengah hari, masyarakat Ciren, Triharjo, Pandak, Bantul, Yogyakarta ini tengah menggelar Selapan Majemuk, ritual ucap syukur yang mereka percaya sejak zaman nenek moyang. Ritual ini pun selalu digelar di tepian Sendang Luh Sinongko yang dipercaya keramat.
Selapan Majemuk adalah sebuah ritual yang dilaksanakan saban Kamis Wage, seusai panen raya. Ritual ini akan diawali kegiatan bersih dusun (majemuk, istilah masyarakat Ciren). Sekaligus menguras air Sendang Luh Sinongko, sebelum acara Selapan Majemuk mewujud. “Biasanya pagi hari, sendang akan dikuras, sembari bapak-bapak menyiapkan acara Selapan Majemuk”, tutur Edi Saryanto, salah seorang warga.
Saat langkah mulai memangkas jarak, terasa nuansa guyup khas pedesaan yang kental. Bapak-bapak menggunakan atasan batik, dipadupadan dengan sarung. Lengkap dengan peci sebagai penutup kepala. Mereka yang rumah tinggalnya di sekitar sendang, bahu membahu menjamu para tetangga desa yang datang. Ada yang bertugas membagi ayam ingkung, buah-buahan, serta sayur-mayur dalam wadah dari anyaman bambu yang biasa disebut besek. Pun para pemuda bertugas menghantarkan teh nasgitel dan arem-arem dengan cara berjalan jongkok, sebagai wujud rasa hormat pada para tamu yang dominan berusia senja.
Selapan Majemuk dipimpin Mbah Kaum (80) tetua masyarakat Ciren. Sebelum acara dimulai, ia telah duduk bersila di antara hasil panen dan ternak yang dibawa warga untuk didoakan. Setelahnya, ia memimpin warga untuk merapal syukur dalam bahasa Krama Inggil. Acara berjalan khusyuk dalam keteduhan doa.
Tak berangsur lama, berkah berupa nasi putih, nasi kuning, lauk pauk, buah-buahan, serta sayur mayur mulai dibagikan. Kesemuannya diikat dengan kain corak agar mudah saat dibawa. Sebelumnya beranjak pulang, masyarakat mengambil air dari Sendang Luh Sinongko untuk menggenapi berkat yang akan dibawa pulang ke rumah.
Sebuah perpaduan harmonis antara agama yang tetap dianut serta tradisi yang digenggam teguh. Representasi Nusantara yang sesungguhnya.