Munajat Reksa Garuda
Sang Garuda telah sejak lama menanti reksanya, sepeninggal para pendiri bangsa yang purna dari dunia. Dalam senyap, ia menanti. Sorot tajam matanya kemudian tertuju pada bocah belia, putra seorang TNI AD di Mojokerto, Jawa Timur. Tatapnya tak pernah kendur, mematung, tepat dari muka rumah bocah itu. Dalam berkas-berkas ingatan, sang Garuda terus memperkuat pesonanya. Kemudian berdiam dan bertumbuh dalam sanubari bocah belia ini setelahnya.
Nanang Rachmat Hidayat (51) adalah sosok bocah belia yang dinanti sang Garuda. Lepas empat dasawarsa dari masa belianya, sang Garuda kian pekat mengisi tiap sendi kesadaran Nanang. Memantiknya untuk menghidupkan kembali ruh sang Garuda lewat karya.
Pada 2006, sang Garuda diterakan dalam laku akademis Nanang. Ruh Sang Garuda menuntun penggarapan tesisnya yang berbuah sebuah buku bertajuk ‘Mencari Telur Garuda’. Sebuah manifestasi kisah pencarian Nanang akan sosok sang Garuda dalam lembar-lembar gambar yang dipandu aksara. Sejak saat itu, namanya kian lekat, dan menjadi identitas sang reksa. ‘Nanang Garuda’, begitu orang-orang seantero negeri, mengenalnya.
Sejatinya, sang Garuda adalah entitas luar biasa. Konon, menurut kisah Mahabarata yang dibaca Nanang dari Kitab Adiparwa, sang Garuda adalah putra Resi Kasyapa dan Dewi Winata. Sosoknya yang universal, berani, adidaya, serta setia, diadaptasi oleh para pendiri bangsa sebagai bakal lambang negara. Sang Garuda mewujud dalam rupa Elang Jawa, sebagai unggas endemik Nusantara. Mengenakan perisai bermuatan lima asas negara, Pancasila di dadanya. Dan mencengkeram seruan pemersatu ‘Bhinneka Tunggal Ika’.
Meski telah menemukan reksanya, sang Garuda tetap merasa gundah. Sang Garuda sebagai lambang negara mengalami pergeseran makna sakral ke profan dengan begitu gegas. “Saya pernah mengamati, ada sejumlah regu pramuka yang diberi nama regu elang, rajawali, dan garuda. Pada regu garuda, yang dipasang sebagai simbolnya adalah Garuda Pancasila. Saya tidak habis pikir dengan hal tersebut”, tegas Nanang sembari tertawa kecut.
Hal ini sebenarnya juga telah ditemukan Nanang sejak menggarap buku sebagai manifestasi laku akademisnya. Ia kerap menemukan sang Garuda di tempat tak semestinya. Tempat penimbunan barang rongsok menjadi terminal penantian sang Garuda sebelum akhirnya dilebur. Kerap kali, sang Garuda berevolusi menjadi panci dan alat dapur lainnya. “Biasanya Garuda ini ditemukan tukang rongsok keliling dari sisa-sisa sekolah yang runtuh waktu gempa 2006, lalu berpindah sampai ke sini”, ujar Wasgiyo, salah seorang pekerja di tempat penimbunan barang rongsok kawasan Tamanan, Bantul.
Di sini, Nanang dengan sigap menyelamatkan sang Garuda. Membelinya dengan mahar yang tak seberapa lalu membawanya pulang ke rumah. Sejak 17 Agustus 2011, sang Garuda resmi berdiam di rumah Nanang yang disulap menjadi museum. Sang Garuda dikoleksi dalam pelbagai rupa. Mulai dari patung, lukisan, wayang, foto, jam, mainan, tongkat, pin, hingga fidget spinner bernuansa Garuda lengkap menyesaki Museum Garuda di kawasan Sewon, Bantul, Yogyakarta ini.
Kesemuanya ini adalah bentuk munajat sang reksa Garuda untuk kembalinya kesadaran anak bangsa. Pulihnya kesadaraan untuk menghidupi diri lewat embusan jiwa sang Garuda. Sehingga kembali menjadi bangsa yang besar, seperti gagahnya sosok sang Garuda.