Para Penukar Sukma

anggertimur
3 min readOct 15, 2017

--

FOTO & CERITA: © ANGGERTIMUR LANANG TINARBUKO

Semerbak wangi mawar bersenyawa dupa dan menyan, menguar, mengelilingi ruang pentas para penukar sukma. Aroma magis ini jadi sebuah isyarat pentas Jathilan sesaat lagi akan dihelat. Bocah-bocah jadi yang pertama merapat. Rasa penasaran tak tertahan, melihat enam pasang kuda kepang ditata melingkar berseling dua kendang. “Ini ritual awal sebelum Jathilan dimulai. Biar semuanya lancar dan berjalan baik”, aku Wagiono, sang pawang Jathilan.

Mengakrabi tengah hari, iringan gamelan mulai mewujud. Disambut langgam campursari yang berperan memanggil para penukar sukma memasuki pentas. Dua puluh empat bocah lelaki dan perempuan berusia 8–13 tahun siap membuka perhelatan Jathilan dari Paguyuban Kudha Sembada. Menurut penuturan TR. Wiyanto, Ketua Paguyuban Kudha Sembada, acara ini melibatkan para penukar sukma lintas usia. “Nanti diawali yang bocah-bocah dulu, baru semakin siang hingga sore dilanjutkan yang lebih senior”, tuturnya di sela persiapan. Khusus untuk bocah-bocah, baik lelaki maupun perempuan, tidak ada prosesi ndadi, atau bertukar sukma (kerasukan).

Aksi bocah-bocah ini dipadati warga. Tua muda hadir, enggan ketinggalan. Terlebih para ibu yang sudah siap dengan gawainya untuk merekam aksi anak-anak kesayangannya pentas.

Begitu tiba waktu para senior pentas, suasana terasa berbeda. Mawar bersenyawa dupa dan menyan lebih menusuk hidung. Air kembang pun disiapkan di sudut selatan ruang pentas, bersama seperangkat sesaji lainnya. Iringan gamelan kian rancak, para penukar sukma pun kian gegas menari. Hingga dua orang akhirnya terjatuh. Mencabik tanah, alas ruang pentas, dengan kukunya. Pertanda sukma telah bertukar, disusupi sosok lain dari alam gaib.

Untuk merekam lebih dekat, merapat ke sumber dupa dan menyan dibakar menjadi pilihan. Tak berapa lama, para penukar sukma menghampiri. Mereka nampak kegerahan, hingga mencelupkan kepala dalam ember penuh air. Tak merasa cukup, seorang penukar sukma mengangkat ember penuh air rendalaman mawar, lalu menyiramkan ke sekujur tubuhnya. Kemudian melanjutkan tarian yang lebih rancak nan liar. Menurut Bu Suyono, salah seorang warga yang anaknya ikut pentas, para penukar sukma ini tidak melakukan aksi makan beling. Mereka hanya makan bunga dan buah kelapa saja.

Suasana yang kian seru membuat para penonton menciptakan pagar hidup berlapis. Wujud antusisme masyarakat terhadap kesenian tradisional Jathilan. Dalam kesempatan ini Paguyuban Kudha Sembada juga tengah merayakan hari jadinya ke 18. “Biasanya saban malam Suro kami akan pentas, tapi karena akan diadakan merti dusun, jadi dibarengkan saja perayaannya”, aku TR. Wiyanto.

Kesemuannya ini sejatinya adalah awalan dari rangakian acara Merti Dusun Bandan, Sendangsari, Minggir, Sleman, Yogyakarta. Menurut Sukidi, Ketua RT 5, merti dusun ini baru kembali dilaksanakan setelah lebih dari 15 tahun sepi kegiatan. Semangat warga untuk kembali merayakan kembali lokalitasnya lewat kegiatan merti dusun, dipercaya menjadi pelecut utama. “Warga masyarakat Bandan menginginkan kembali menggelar acara merti dusun. Kemudian lewat uang jumputan ronda malam, sedikit demi sedikit selama 2 tahun dana terkumpul untuk mendanai acara merti dusun”, tegas Sukidi, yang rumah dan halamannya dialokasikan untuk kegiatan merti dusun.

Sebuah manifestasi kecintaan terhadap kesenian dan tradisi dari masyarakat Bandan. Dana tak jadi halangan, saat kebersamaan mampu mengisi setiap kekurangan.

--

--

anggertimur
anggertimur

Written by anggertimur

#PenceritaFoto | Archiving Local Culture of Indonesia https://www.instagram.com/anggertimur/

No responses yet