Pijar Asa Gudeg Legenda
Belum genap pukul tujuh melingkari pagi, belasan orang sudah berburu ruang untuk mengutarakan pesanan. Sebab, jika tak cekatan memesan, pasti tak kebagian. Terlebih suasana pagi tengah digelayuti mendung. Suasana yang selalu berhasil meningkatkan nafsu makan.
Rasa khawatir nampak dari wajah-wajah penanti sajian Gudeg Mbok Lindu yang melegenda. Hingga tak ayal ada yang meracau saat pesanannya tak kunjung dilayani. “Mau dilarisi tidak to? Saya dari jam enam sudah pesan tapi belum dilayani!” seru seorang bapak mulai tak sabar.
Hasrat luar biasa dari pelanggan Gudeg Mbok Lindu. Sajian kuliner tradisional khas Yogyakarta dari seorang senja yang telah melintas sembilan dasawarsa selang sewindu usia. Kuliner tradisional berpadu dengan nama ikonik, Lindu. Menurut penuturan Mbok Lindu, namanya ini tak berkaitan dengan gempa, yang searti bila diterjemahkan dari bahasa Jawa. Kata Lindu muncul sejak keponakannya memanggilnya dengan sebutan “Londa-landu”. “Jadi orang kok Londa Landu”, ungkap Giyem, nama asli Mbok Lindu. Semenjak itu namanya lekat dengan kata Lindu. Mbok Lindu menambahkan, Londa-landu sendiri, berarti orang yang menurut, tak banyak komentar, dan tak mengeluh saat bekerja.
Bekerja menjadi napas kehidupannya. Baginya, tak ada hari tanpa bekerja. Namun, beberapa bulan silam, kelelahan memaksanya tumbang dan merajuknya menginap di rumah sakit. Semenjak itu, ia tak lagi melayani pembeli gudegnya yang setia mengantri saban subuh hingga menjelang tengah hari. “Sebelum puasa tahun lalu, saya masuk rumah sakit. Kata dokter, saya kelelahan”, tuturnya. Hal ini beralasan, sebab, sedari usia 13 tahun, Mboh Lindu telah menjalani rutinitas ini. Memasak gudeg lalu menjualnya, selalu begitu hingga usianya menjelang seabad.
Kini, Ratiyah (51), putri bungsu Mbok Lindu melanjutkan pekerjaan sang ibu. “Simbok itu masih selalu ingin membantu. Bumbu-bumbu masih disiapkan simbok, hal-hal lain, termasuk berjualan sekarang saya yang mengurus”, ungkap Ratiyah yang baru saja pulang berjualan Gudeg. Mbok Lindu bersikeras tetap menyiapakan racikan cita rasa gudegnya. Biasanya, Ia duduk di kursi lincak (bambu) yang menghadap selatan di depan rumah tuanya yang berlapis dinding gedek. Menurut Ratiyah, ini adalah singgasana sang ibu sembari meracik bumbu.
Selepas meracik bumbu, Mbok Lindu perlahan mulai menjejak tanah. Berdiri dan masuk ke rumahnya, menuju pawon (dapur). Pawon berlapis tanah ini disesaki bahan baku masakan yang mengisi hampir separuh rumahnya. Langkah senyapnya kemudian mulai dapat dimengerti. Menggenggam korek kayu, kemudian ia mencipta api, menandai waktu memasak segera akan dimulai.
Di sinilah ruang cita rasa Gudeg Mbok Lindu dicipta. Disinari cahaya yang menelusup dari sela atap dan gedek. Bahan-bahan masakan seperti krecek, gori, tempe, telur dan ayam dimasak menggunakan kombinasi kayu bakar dan arang dalam anglo tanah liat. Dibantu Ratiyah, yang sibuk lalu-lalang memasukkan panci-panci besar yang baru saja selesai dicuci. Kemudian, mulai terlihat transisi pekerjaan dari Mbok Lindu pada Ratiyah. Sesaat berselang, Mbok Lindu beralih ke ruang samping pawon yang hanya disekat gedek. Di sana terdapat kasur tipis tempatnya mengudar lelah. Raut kelelahan memang nampak dari waja senjanya. Tak lama ia mulai terlelap menikmati kantuknya.
Mata kemudian beralih pada aktivitas Ratiyah yang sejak tadi pulang selepas berjualan, tak kunjung usai. “Saya biasanya bangun jam 12 malam, setelah itu menyiapkan gudeg untuk jualan. Kemudian berangkat jam setengah 5 pagi. Jualan sampai jam 11 siang, belanja bahan masakan. Pulang, mencuci panci, lalu kembali memasak lagi sampai jam 5 sore. Kemudian baru bisa istirahat”, jelasnya sembari sibuk mengulek bumbu.
Melihat Ratiyah, kita akan mengerti, bagaimana beratnya usaha Mbok Lindu puluhan tahun lalu. Pijar semangatnya masih membara meski harus menggadai waktu istirahatnya. Setiap jalan yang harus ditapaki, gelap subuh yang harus ditembus dengan obor, serta gudeg yang harus dipanggulnya menuju kawasan Sosrowijayan, Yogyakarta. Untuk sebuah kuliner tradisi yang menghidupinya hingga detik ini.