Lampau Kini Tera Jogja #TheGatewayofJava
Selepas retas panjang bulan delapan di tanah seberang. Rindu begitu membuncah, menagih jumpa dengan istimewanya Jogja. Kembali menyapa sudut-sudutnya yang memedarkan lampau meski dengan nuansa kini. Menjabat kembali rona familiar, untuk menukar sapa dan seutas kabar. Pun menuntaskan dekapan dengan yang tercinta di ruang rasa terdalam.
Menggenapi empat hari dipenghujung bulan delapan, perjalanan menuntaskan rindu ini dijelang seiring Ambarrukmo, bersama 7 rekan seperjalanan yang menyenangkan.
Mengenal Muasal
Sabtu pagi dimulai dengan perjumpaan dengan paras-paras anyar di Hotel Royal Ambarrukmo. Dua di antaranya telah familiar, yakni Putri Anindya dan Nyimas Laula, yang kebetulan datang lebih pagi dari Bali. Dalam perjalanan ini, nantinya saya dan Putri akan bersama dalam tim Earthground Discovery. Berpisah dihari kedua dan tiga dengan Nyimas yang berjalan bersama tim Enlightning Wonder. Menyusuri dan mengabadikan memesonanya Yogyakarta dari sudut pandang berbeda, sesuai racikan acara dan destinasi dari tim Ambarrukmo dalam #TheGatewayofJava. Meski berbeda tim, ada beberapa aktivitas dan destinasi yang nantinya tetap mempertemukan kami semua.
Setelah beberapa teguk teh yang menenangkan dan obrolan singkat membaru perjumpaan bersama Putri dan Nyimas. Saya berkesempatan mengakrabi bangunan yang diapit Hotel Royal Ambarrukmo dan Mall Plaza Ambarrukmo yang selama ini membuat tak sedikit orang penasaran. Berdiri jauh lebih dulu dibandingkan mall dan Hotel Royal Ambarrukmo, yakni Kedaton Ambarrukmo. Kediaman mendiang Sultan Hamengku Buwono VII bersama keluarganya selepas purna bertahta. Pagi itu, bersama Bachtiar Nur Samsuli, abdi dalem yang berkalung samir sebagai tanda tengah bertugas, saya mengakrabi Kedaton Ambarrukmo. Seiring langkahnya yang niralas, mengantar saya dalam cerita tentang ruang-ruang lampau. Berhias dokumentasi berwujud lukisan wajah keluarga karaton, serta foto-foto hitam putih tentang Yogyakarta dalam lini masa lampau. Serta uraian perjanjian Giyanti yang menjadi tonggak berpisahnya Yogyakarta dan Surakarta yang dulu satu sebagai Mataram Islam.
Terdapat pula pelbagai ruang yang didiami untaian batik tulis, wayang kulit, serta keris di kamar-kamar utama Dalem Ageng Ambarrukmo. Namun tak setiap ruang lantas bisa diretas. Terdapat satu ruang gelap, izinnya hanya untuk diintip berbatas kaca saja, yang keruh memantulkan cahaya. Konon, di sanalah rentang waktu terakhir Sultan Hamengku Buwono VII sebelum meretas buana langgeng.
Tak terasa, waktu berlalu dan panggilan makan siang berkumandang. Bersama dua teman lama, dan lima teman perjalanan anyar, Aqil Affif, Bisma Kharisma, Lystia Novilda, Sarah Azka, dan Wimbo Prakoso, kami menunaikan ritus makan siang. Sepiring Soto Tangkar dengan bongkah daging lembut dalam kubangan kuah kaya rempah menggoda. Berhasil merajuk mesra, membuat saliva beradu gegas untuk lekas lahap menyantap salah satu sajian andalan Hotel Royal Ambarrukmo ini.
Setelah khusyuk menikmati sajian makan siang, kami diminta menyilih diri. Mengganti pakaian yang dikenakan dengan blangkon, balutan surjan sebagai atasan serta kain jarik khas nuansa Jawa. Memantas diri untuk menyambut pengalaman merasakan aktivitas lampau khas keluarga Kedaton Ambarrukmo, yakni Patehan dan Jemparingan. Kami dipersilakan untuk duduk bersimpuh menghadap sisi selatan di Pendopo Agung Royal Ambarrukmo. Tak lama, langkah-langkah seirama datang mengakrabi kami. Para lelaki mengenakan blangkon, baju peranakan serta jarik. Sementara para perempuan berbalut kemben dan jarik. Berarak membawa teko keramik putih di atas nampan kayu. Kian dekat, mereka menghampiri dengan laku dodok (jalan jongkok). Wujud penghormatan kepada keluarga Kedaton Ambarrukmo atau para tamu yang akan dijamu dalam tradisi Patehan. Menikmati sajian teh hangat dipadu pelbagai penganan bernuansa manis, asin, gurih dalam warna-warni yang menggoda untuk dicoba.
Biasanya, tradisi Patehan ini dinikmati sembari menyaksikan lesat panahan Jawa, Jemparingan. Namun kini, kami tidak hadir hanya untuk menyaksikan. Tapi untuk turut merasakan, bagaimana pengalaman memanah dengan cita rasa Jawa. Bersama Agung Susilo, dasar-dasar njemparing diwedar di sisi barat Bale Kambang. Dimulai dengan posisi duduk bersila dengan bandul sasaran ada di sisi kiri badan. Tumpuan tangan saat merentangkan senar dari gandewa (busur), sebagai landasan pacu jemparing (anak panah) melesat, haruslah tepat. Tak lupa tarikan senar dan jemparing yang diapit tiga jemari, didekatkan pada pipi yang ditopang ibu jari. Dipandu mata dan rasa untuk titisnya jemparing menghujam bandul sasaran. “Jemparingan ini bukan hanya mengolah raga, tapi juga rasa kita. Karena kata manah dalam memanah berarti hati atau perasaan”, ungkap Agung Susilo di sela memeragakan cara njemparing. Menurutnya, dalam njemparing kita sebenarnya sedang melawan diri sendiri, bukan orang lain. Melawan diri untuk tetap tenang, tidak terburu dan bernafsu. Belajar tentang kesabaran dan ketenangan yang menjadi kunci meretas sebuah tujuan.
Sebelum Renjana Sirna
Siang begitu cepat tandas di Kedaton Ambarrukmo. Sebelum gelap menyergap, kami lekas bergegas menuju sisi timur Yogyakarta. Meretas kemacetan yang kembali terasa pada penghujung Minggu di bentang Jalan Raya Jogja-Solo. Sebelum lingsir hari, kami diajak menuju teras tinggi untuk menikmati senja sembari belajar sejarah di Candi Ijo. Sebelas teras yang menghimpun komplek Candi Ijo ini menawarkan saujana Yogyakarta nan memesona, terlebih saat senja.
Muda mudi sejoli telah memilih lokasi terbaiknya sendiri. Memuja renjana senja dalam dekap pagut romansa. Menikmati senja kini, berlatar lampau masa yang mewujud dalam candi bercorak Hindu yang konon dibangun pada abad 9, era Mataram Kuno.
Lingsir hari kian pekat didekap gelap. Menyisakan kerlip lampu kota yang memendar indah, berlatar langit ungu bersemu jingga. Penanda untuk mencukupkan indahnya kini dalam nuansa lampau di Candi Ijo. Kembali meretas kemacetan penghujung Minggu untuk kembali ke Royal Ambarrukmo. Membasuh diri selepas jauh melangkah, untuk memantas diri sebelum merasakan pengalaman makan malam disisa hari.
Malam ini, kami kembali mengakrabi Bale Kambang. Kali ini bukan dari sisi luarnya, tapi masuk ke dalam, menapaki anak tangga untuk menyambut Ladhosan Dhahar Kembul Bujana. Dalam naungan atap segi delapan Bale Kambang, jamuan makan dengan meja panjang dalam tatanan fine dining bagi para bangsawan dihidangkan. Serupa tradisi jamuan makan di Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat, lengkap dengan pelayanan khusus dari para abdi dalem. Menyajikan sederet hindangan andalan, selera rasa para raja sejak era Sri Sultan Hamengku Buwono VII hingga IX.
Ditemani lantunan petik siter dan birama nada para sinden, gending Jawa melenggang susupi Bale Kambang. Menghidupkan nuansa lampau di malam ini. Mengantarkan sajian selera rasa para raja ke hadapan kami berdelapan.
Sapa pertama hadir dari kudapan legit berjuluk Roti Jok Semur Ayam racikan rasa lampau para Raden Ayu. Memadukan roti berbahan tepung beras bukan terigu. Disusupi semur ayam kaya rempah di tengah roti saat adonan masih setengah matang. Cita rasa kudapan kegemaran Sri Sultan Hamengku Buwono VII. Kemudian digenapi Ledre Pisang Raja, hadir dalam rupa adonan tipis yang diisi pisang raja. Lalu dilipat untuk mewujud kudapan manis serupa panekuk.
Belum tandas sapa nikmat ini dicecap, makanan pembuka sudah hadir di depan mata. Salad mentimun hadir menawarkan kesegaran dalam sedap rempah pala, serta selada yang diatapi kelembutan saus mayones. Sajian akulturasi rasa Eropa-Jawa ini jadi kegemaran Sri Sultan Hamengku Buwono IX.
Kini tiba diperhelatan utama sajian Ladhosan Dhahar Kembul Bujana. Setangkup nasi pandan wangi disajikan di atas piring yang menanti sedari tadi. Wanginya membawa rasa penasaran, nantinya lauk apa yang akan menemani dhahar ijem ini. Ternyata sepiring sajian khas asli Yogyakarta, berbahan dasar daging sapi yang dimasak berulang dalam resap bumbu kaya rempah. Sajian berjuluk Dendeng Age ini konon menjadi kegemaran Sri Sultan Hamengku Buwono VII serta jadi menu wajib saat menjamu tamu-tamu Belanda.
Disusul Lombok Kethok Sandung Lamur. Masih sajian daging sapi, namun dari bagian dada bawah atau akrab disebut sandung lamur. Memadukan empuknya daging yang dibalut cita rasa gurih, pedas, dan manis. Begitu bersenyawa dengan nasi pandan wangi, Lombok Kethok Sandung Lamur, mendarat dengan nyaman di mulut saya. Menjadikannya sajian utama yang saya suka. Begitu nikmat hingga lupa ada yang alpa. Sajian sayur perlu menyeimbangkan dominasi daging pada makan malam ini. Setup Pakis Taji hadir sebagai jawabnya. Pucuk tanaman pakis yang dimasak dengan cara dikukus. Disajikan dengan kuah santan bermuatan rempah yang memantik nikmat cita rasa. Sembari diselingi Setup Pepaya sebagai pelipur dahaga.
Kesemuanya ditutup dengan puding telur akulturasi rasa Portugis. Disajikan dengan saus karamel dan diatapi warna-warni mangga, stroberi serta leci. Begitu lengkap rasanya malam ini. Memberikan kehangatan setelah dimanjakan sajian selera rasa para raja lewat Ladhosan Dhahar Kembul Bujana di Bale Kambang Ambarrukmo.
Kini, kantuk datang mengetuk untuk dipersilahkan masuk. Menagih pengalaman melaras lelah di Hotel Royal Ambarrukmo (dulu Ambarrukmo Palace Hotel) yang pada 1964 lalu diprakarsai Presiden Soekarno. Menutup malam dengan kenyamanan menenggelamkan benak pun raga dalam nuansa hangat kamar bintang lima.